Skip to main content

LO KHENG HONG DAN INDIKA


Follow my IG: lukas_setiaatmaja
IG: hungrystock


Desember 2015. Harga saham PT. Indika Energy, Tbk (INDY) menyentuh titik nadir di Rp110. Perhatikan grafik harga saham INDY. Harga saham INDY masih di Rp 1600 pada awal 2013. Penurunan tajam terjadi di tahun 2013 dan 2015. Dengan harga tinggal Rp110, jika dikalikan jumlah saham INDY sebanyak 5,21 milyar, maka kapitalisasi pasarnya hanya Rp573 milyar atau sekitar US Dollar 43 juta. 

LKH mencermati laporan keuangan INDY. Dia melihat INDY masih memiliki kas sebesar US Dollar 390 juta. Nilai ekuitas INDY adalah US Dollar 667 juta, atau setara Rp1.702 per saham. Dengan nilai buku jauh di atas nilai pasar, bagi LKH INDY adalah saham salah harga alias kemurahan (underpriced). Sudah barang tentu LKH memperhatikan juga aspek-aspek fundamental INDY. Bagi LKH, saham INDY tidak hanya kemurahan tetapi memiliki bisnis yang menarik.

INDY memiliki 46 persen saham PT. Kideco Jaya Agung, perusahaan pertambangan batubara terbesar ketiga di Indonsia. INDY juga memiliki antara lain saham di PT. Petrosea, Tbk (PTRO), PT. Mitrabahtera Segara Sejati, Tbk (MBSS), PT. Tripatra Engineers & Constructors, PT. Cirebon Electric Power, pembangkit listrik berkapasitas 660 MW. Harga saham INDY turun drastis karena harga batubara sedang terpuruk dan mayoritas investor meragukan prospek batubara. Tambahan, pada tahun 2015, INDY masih merugi US Dollar 44 juta.

LKH segera melakukan order beli saham INDY kepada pialangnya. Namun di luar dugaan pialangnya justru menasehati LKH untuk tidak membeli saham INDY. Pialang yang memiliki gelar MBA dari luar negeri tersebut yakin bahwa masa depan batubara suram.  Tapi LKH tidak terpengaruh. “Tidak apa-apa, belikan saja karena yang suram bisa menjadi cerah”, kata LKH. Dia tahu persis bahwa harga batubara memang fluktuatif, habis naik akan turun, setelah turun akan naik kembali. Maklumlah, LKH berpengalaman dengan saham komoditas. Tahun 2002 ia pernah membeli saham PT. Timah, Tbk (TINS) di harga Rp285. Saham TINS kemudian naik menjadi Rp38.000. Ia juga punya pengalaman manis dengan saham PT. United Tractor, Tbk (UNTR) yang harganya dipengaruhi oleh fluktuasi harga batubara. Ia membeli saham UNTR di harga Rp250 pada tahun 1998, dan menjualnya di harga Rp15.000 enam tahun kemudian. Jadi, bukan kali ini saja LKH mengambil posisi berlawanan dengan mayoritas investor di bursa saham.

LKH mengoleksi sekitar 110 juta saham INDY pada harga Rp110. Suatu hari JP Morgan Private Banking Singapore mengadakan gathering untuk orang super tajir di Jakarta. LKH termasuk yang diundang. Di gathering tersebut ia bertemu dengan pemegang saham terbesar ketiga di INDY. LKH sembari tersenyum segera menyalami dan memberitahu dia bahwa sahamnya telah kalah banyak dengan LKH.

Saham INDY ternyata melesat cepat seiring dengan naiknya harga batubara. Dalam waktu 6 bulan saham tersebut sudah mencapai harga Rp600, alias naik 450 persen. Padahal INDY hingga pertengahan 2016 masih dalam keadaan rugi. LKH akhirnya memutuskan untuk melepas saham INDY, dan menikmati keuntungan sekitar Rp54 milyar. 

Setahun kemudian, Mei 2017, LKH membeli kembali saham INDY pada harga Rp855 saat berada di Omaha, kota di negara bagian Nebraska Amerika Serikat, menghadiri Berkshire Hathaway Shareholder Meeting (RUPS). “Ketika BEI buka jam 9 pagi, di Nebraska jam 9 malam. Saya membeli saham INDY sembari berbaring di ranjang hotel. Saya menelpon broker saya mengguankan whatsapp call dengan wi fi hotel yang gratis,” kata LKH. “Saya membeli saham INDY dari jam 9 hingga 12 malam. Setelah jam 12 biasanya saya mengantuk dan tidur. Jadi setiap hari saya membeli saham INDY hanya 1 sesi.”

Mengapa tertarik membeli kembali saham INDY? LKH membaca lakporan keuangan INDY Kwartal 1 tahun 2017 yang keluar pada April 2017, dan hasilnya sangat bagus. Laba bersihnya USD 22 juta. Kalau di Rupiahkan, sekitar Rp294 milyar. Jika dibagi jumlah saham beredarnya sebanyak 5,2 milyar, diperoleh earnings per share Rp56,4 selama 1 kwartal. Jika disetahunkan menjadi Rp225. Pada saat harga saham Rp855, PER INDY hanya 3,8x. Nilai buku ekuitas per saham INDY Rp 1.690, jauh di atas harga saham INDY.

LKH membeli 135 juta saham INDY dari Mei hingga Juli 2017. Saat itu harga batubara New Castle sekitar USD 73 per tonDana yang diinvestasikan sebesar Rp 112 milyar. Harga saham INDY kemudian melesat bak meteor dan LKH mulai menjual saham INDY pada bulan September 2017 ketika harganya Rp 2.000. Ia terus menjual saham INDY sedikit demi sedikit sampai harganya mencapai Rp 4.620 pada akhir Januari 2018. Harga batubara New castle mencapai USD 106 per ton. Jika diasumsikan harga jual rata-rata saham INDY LKH adalah Rp3.000, ia meraup Rp405 ilyar, menikmati cuan sebesar Rp293 milyar dalam waktu kurang dari setahun!

Anda ingin sukses berinvestasi saham seperti LKH? Ia selalu menasehati, “Invest in bad times, sell in good times, and you will get rich.” Simpel bukan?

Comments

Popular posts from this blog

LO KHENG HONG-FIRST BIG RETURN

Syahdan, ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Tahun 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di bank. Tujuh tahun kemudian ia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham. Kini ia telah sukses, dan dijuluki Warren Buffett of Indonesia. Mari kita belajar sejurus dua jurus dari “pendekar saham” yang rendah hati ini. Ciaaaaat! Jakarta, pertengahan Mei 1998. Gelombang kerusuhan rasial, krisis finansial dan gejolak politik menghanyutkan harga-harga saham di Bursa Efek Jakarta ke titik terendah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah turun sekitar 40% dibanding pada tahun 1997.    Kondisi suram penuh ketidakpastian ini berlanjut hingga 1999. Ketika mayoritas investor kabur dari bursa saham, menjual murah saham mereka secara panik, LKH justru sibuk mencari peluang membeli saham bagus dengan harga super diskon. Ia menganalisis laporan keuangan beberapa perusahaan yang harganya sudah jatuh

LO KHENG HONG DAN ANAK AYAM

Minggu lalu kita sudah belajar dari LKH bagaimana memanfaatkan krisis finansial sebagai batu loncatan untuk kaya. Ternyata krisis memiliki dua sisi: ancaman dan kesempatan. Bagi LKH krisis finansial 1998 membuka peluang untuk membeli saham PT. United Tractor, Tbk (UNTR) dengan harga super murah.  Namun salah jika kita berpikir bahwa saham super murah hanya bisa ditemukan saat krisis finansial. Setidaknya LKH membuktikan bahwa setelah mendapat cuan (profit) luar biasa dari saham UNTR, ia bisa menemukan saham sejenis pada kondisi bukan krisis finansial. Salah satunya adalah saham  PT Multibreeder Adirama Indonesia, Tbk (MBAI). MBAI adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang usaha pembibitan ayam, dengan hasil produk utamanya DOC ( Day Old Chicks ) alias anak ayam yang baru menetas. Mayoritas saham MBAI (sekitar 73 persen) dimiliki oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk (JPFA), perusahaan yang berbisnis pakan ternak hingga daging ayam.  LKH tertarik membeli s

LO KHENG HONG DAN SAHAM PROPERTY

Follow my IG: lukas_setiaatmaja IG: hungrystock  Pembaca tentu masih ingat booming property yang melanda Jakarta dan sekitar di periode 2009 – 2014. Harga property di daerah Alam Sutera, Serpong dan Bintaro melambung tinggi. Harga property selama periode booming tersebut naik rata-rata 30 hingga 40 persen per tahun. Meskipun tidak membeli property, ternyata LKH ikut menikmati keuntungan dari kenaikan harga property. Koq bisa? LKH berinvestasi pada saham perusahaan property. Keuntungan yang ia peroleh di pasar saham bahkan jauh melebihi investor yang membeli property. LKH membeli saham PT. Lippo Cikarang, Tbk (LPCK) sekitar awal Juni 2011 di harga Rp600. Berdasarkan Laporan Keuangan per akhir Maret 2011, nilai buku per saham LPCK adalah Rp853 dan laba bersih per saham (Earnings Per Share) adalah Rp43,75 per kwartal. Jika dihitung setara dengan setahun, laba bersih per saham sekitar Rp175 (dari Rp43,75 dikali 4 kwartal). Dengan harga beli Rp600, Price Earnings Ratio adalah