Skip to main content

LO KHENG HONG DAN ANAK AYAM



Minggu lalu kita sudah belajar dari LKH bagaimana memanfaatkan krisis finansial sebagai batu loncatan untuk kaya. Ternyata krisis memiliki dua sisi: ancaman dan kesempatan. Bagi LKH krisis finansial 1998 membuka peluang untuk membeli saham PT. United Tractor, Tbk (UNTR) dengan harga super murah. 

Namun salah jika kita berpikir bahwa saham super murah hanya bisa ditemukan saat krisis finansial. Setidaknya LKH membuktikan bahwa setelah mendapat cuan (profit) luar biasa dari saham UNTR, ia bisa menemukan saham sejenis pada kondisi bukan krisis finansial. Salah satunya adalah saham PT Multibreeder Adirama Indonesia, Tbk (MBAI).

MBAI adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang usaha pembibitan ayam, dengan hasil produk utamanya DOC (Day Old Chicks) alias anak ayam yang baru menetas. Mayoritas saham MBAI (sekitar 73 persen) dimiliki oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk (JPFA), perusahaan yang berbisnis pakan ternak hingga daging ayam. 

LKH tertarik membeli saham MBAI karena merasa harganya sudah sangat murah. Indikatornya adalah Price Earnings Ratio-nya kurang dari 1 kali. Mengapa saham MBAI bisa salah harga? Menurut LKH saat itu terjadi wabah flu burung, yang menyerang ayam. Masyarakat menghindari mengonsumsi ayam. Akibatnya penjualan MBAI turun dan investor menghindari saham ini karena khawatir prospeknya. Akibat dorongan jual yang massif, harga MBAI terkapar. Mengapa LKH berani masuk pada saat mayoritas investor lari tunggang langgang? LKH memberikan mantra-nya sembari tersenyum, “Invest in bad times, sell in good times, and you will get rich.” 

LKH membeli saham MBAI pada tahun 2005 seharga Rp 250 per saham. Tidak tanggung-tanggung, ia mengoleksi hingga 6,2 juta saham dengan total nilai investasi Rp1,55 milyar. Alhasil, LKH memiliki 8,28 persen saham MBAI dan menjadi pemegang saham terbesar ketiga. Ia menjualnya 6 tahun kemudian pada harga Rp 31.500, menikmati keuntungan 12.500 persen! Atau rata-rata hampir 125 persen setahun dalam jangka waktu 6 tahun. Total keuntungan dari memegang saham MBAI selama 6 tahun adalah Rp194 milyar.  

Bagaimana Lo Kheng Hong menemukan MBAI? Prosesnya mirip ketika LKH menemukan saham UNTR. Diawali dengan indikator PER yang sangat rendah, ia mulai menganalisis fundamental saham tersebut. Ia menemukan bahwa pada tahun 2005, MBAI memperoleh penjualan Rp655 milyar, laba usaha Rp78,3 milyar dan laba bersih Rp58,5 milyar. Total aset MBAI pada akhir 2005 adalah 627 milyar, sedangkan total utangnya adalah 615 milyar. Maka modal ekuitas MBAI saat itu tinggal Rp12 milyar. Pada harga Rp250 per saham, nilai pasar ekuitas bisa dihitung dengan mengalikan Rp250 dengan jumlah saham beredar (75 juta), hasilnya adalah Rp18,75 milyar. Artinya, harga pasar saham ini hanya sedikit di atas nilai bukunya (nilai historis). Mengapa LKH menemukan kesempatan emas ini dan investor lain tidak? “kemungkinan lebih dari 90% investor saham tidak tahu apa yang mereka beli. Mereka seperti membeli kucing dalam karung,” ujar LKH.

LKH membayangkan, sebuah perusahaan yang masih bisa menghasilkan laba bersih Rp58,5 milyar bagi pemegang saham hanya dihargai Rp 18,75 milyar di pasar! Maka LKH mulai mengoleksi saham MBAI. Ia membeli saham ini secara bertahap supaya tidak menimbulkan gejolak harga di pasar saham.

Perhitungan LKH ternyata tepat. Setelah kehebohan flu burung berlalu, kinerja MBAI makin moncer (Lihat Tabel). Penjualannya, misalnya, berlipat ganda selama periode 2006 – 2010 alias tumbuh 19% per tahun. Sedangkan laba bersih per saham juga berlipat ganda, dari Rp1.414 di tahun 2006 menjadi Rp3.416 di tahun 2010 alias tumbuh 25% per tahun. Tak heran jika harga saham MBAI meroket.
Lantas, mengapa LKH menjual saham MBAI di tahun 2011? “Harganya sudah naik terlalu tinggi sehingga melampaui nilai intrinsiknya,” LKH menjelaskan. “Selain itu ada faktor MBAI dimerger dengan Japfa Comfeed”. LKH kurang menyukai aksi merger ini karena saham MBAi akan ditukar dengan saham Japfa Comfeed, dan menurutnya saham Japfa Comfeed sudah kemahalan.

Jika Krisis  finansial 1998 telah LKH kaya melalui saham PT. United Tractor, Tbk (UNTR), maka kasus flu burung telah membuat LKH menjadi kaya raya. Menurut LKH, jika dibandingkan dengan berinvestasi pada saham UNTR, investasi pada saham MBAI mengandung risiko (ketidakpastian) yang lebih besar. Mengapa? UNTR adalah perusahaan yang jauh lebih besar dan memiliki reputasi tata kelola yang lebih bagus daripada MBAI. Namun risiko besar tidak bisa menghambat “pendekar saham” LKH untuk menaklukkan saham MBAI. 

RINGKASAN LAPORAN LABA RUGI MBAI 2006 - 2010

2006
2007
2008
2009
2010
CAGR
Penjualan Bersih
786
962
1355
1483
1568
19%
Laba Usaha
89
93
147
247
339
40%
Laba Bersih
106
89
32
197
256
25%
Laba Bersih/Saham
1414
1195
424
2623
3416
25%

Comments

  1. Salam Pak, kalau dilihat DERnya tinggi sekali. Apakah seorang value investor tidak terlalu mementingkan ratio DER kalau valuasinya sudah cukup murah?

    Saya tertarik bergabung and berkontribusi di komunitas smiling investor. Bagaimana caranya saya dapat bergabung pak?

    ReplyDelete
  2. Seperti nya price to cashflow nya yang diukur ya, Semakin rendah semakin bagus gitu kan ya ketika dibeli? Begitu sektor nya naik maka cashflow nya tadi akan semakin kencang lagi. Soal nya kalau PER itu kan floating setahu saya, tapi laba berjalan dengan perbandingan aset perusahaan yang diukur besaran nya itu yang bisa menarik buat di invest. Saya juga baru belajar invest 6 bulan, kalo kurang lengkap mohon maaf

    ReplyDelete
  3. Pemikiran kritis telah ada selama berabad-abad. Faktanya, semua filsuf dan penyair dunia telah berhasil melihat melampaui apa yang tampak jelas, sehingga mereka dapat memahami makna yang lebih dalam dari berbagai hal dan fungsi dunia.

    ReplyDelete
  4. DTG merupakan salah satu cara sablon kaos terpopuler saat ini, seiring berkembang dan bertambahnya penyedia jasa sablon ini. Begitu pula dengan produksi mesin DTG yang semakin banyak dan mudah dijangkau.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

LO KHENG HONG-FIRST BIG RETURN

Syahdan, ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Tahun 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di bank. Tujuh tahun kemudian ia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham. Kini ia telah sukses, dan dijuluki Warren Buffett of Indonesia. Mari kita belajar sejurus dua jurus dari “pendekar saham” yang rendah hati ini. Ciaaaaat! Jakarta, pertengahan Mei 1998. Gelombang kerusuhan rasial, krisis finansial dan gejolak politik menghanyutkan harga-harga saham di Bursa Efek Jakarta ke titik terendah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah turun sekitar 40% dibanding pada tahun 1997.    Kondisi suram penuh ketidakpastian ini berlanjut hingga 1999. Ketika mayoritas investor kabur dari bursa saham, menjual murah saham mereka secara panik, LKH justru sibuk mencari peluang membeli saham bagus dengan harga super diskon. Ia menganalisis laporan keuangan beberapa perusahaan yang harganya sudah jatuh

LO KHENG HONG DAN SAHAM PROPERTY

Follow my IG: lukas_setiaatmaja IG: hungrystock  Pembaca tentu masih ingat booming property yang melanda Jakarta dan sekitar di periode 2009 – 2014. Harga property di daerah Alam Sutera, Serpong dan Bintaro melambung tinggi. Harga property selama periode booming tersebut naik rata-rata 30 hingga 40 persen per tahun. Meskipun tidak membeli property, ternyata LKH ikut menikmati keuntungan dari kenaikan harga property. Koq bisa? LKH berinvestasi pada saham perusahaan property. Keuntungan yang ia peroleh di pasar saham bahkan jauh melebihi investor yang membeli property. LKH membeli saham PT. Lippo Cikarang, Tbk (LPCK) sekitar awal Juni 2011 di harga Rp600. Berdasarkan Laporan Keuangan per akhir Maret 2011, nilai buku per saham LPCK adalah Rp853 dan laba bersih per saham (Earnings Per Share) adalah Rp43,75 per kwartal. Jika dihitung setara dengan setahun, laba bersih per saham sekitar Rp175 (dari Rp43,75 dikali 4 kwartal). Dengan harga beli Rp600, Price Earnings Ratio adalah